Pada
zaman penjajahan, seni tari di dalam istana masih terpelihara dengan baik.
Namun, tari hanya digunakan untuk kepentingan upacara istana, misalnya,
penyambutan tamu raja, perkawinan putri raja, penobatan putra-putri raja, dan
jumenengan raja.
Hal itu berbeda dengan seni tari di kalangan rakyat biasa.
Di
kalangan rakyat biasa, pertunjukan karya tari hanya merupakan jenis hiburan
atau tontonan pelepas lelah setelah selesai bercocok tanam. Oleh karena itu, seni
tari pada zaman penjajahan dikatakan mengalami kemunduran.
Namun, di kalangan
rakyat biasa, penderitaan rakyat akibat penjajahan juga menjadi ide untuk
membuat karya tari yang bertema kepahlawanan. Salah satu karya tari yang
terinspirasi oleh penderitaan rakyat pada zaman penjajahan adalah tari
Prawiroguno.