a. Pantun Sunda
Pantun
Sunda berasal dari Bumi Parahyangan atau Sunda sebagai wujud pemujaan terhadap
Dewi Sri (dewi padi). Dalam bahasa Sunda dan Jawa kata pantun berarti padi.
Pantun Sunda biasa dibacakan dalam acara, antara lain: kelahiran, khitanan,
perkawinan, kematian, ruwatan, dan nazar. Fungsi religiusnya jauh lebih kuat dari
fungsi hiburannya di mana sebelum pembacaan dimulai, tuan rumah atau yang punya
hajat harus menyediakan sesajen.
b. Dalang Jemblung
(Banyumas)
Teater
tutur ini sebenarnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit, hanya saja tutur,
dialog, gamelan, dan sebagainya dilakukan dengan suara mulut (vokal) oleh
seseorang atau beberapa orang. Dalam adegan perang dengan senjata, biasanya
dipakai kundhi (seperti senjata tajam berbentuk pisau yang berfungsi sebagai cempala/dhodhogan).
Pesindennya merangkap sebagai pemain wanita atau permaisuri dalam dialog.
Tradisi pertunjukan ini berasal dari upacara nguyen, yaitu berjaga semalam
suntuk waktu kelahiran bayi sambil mendengarkan macapatan atau pembacaan cerita
dalam bentuk puisi Jawa.
c. Kentrung (Jawa
Timur)
Kentrung
adalah bentuk teater rakyat berupa penyampaian cerita secara lisan di depan
penonton oleh seorang dalang. Diduga muncul pada zaman Kesultanan Demak dan
berkembang di wilayah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan sebutan yang
berbeda-beda. Kentrung dipentaskan kalau ada upacara merayakan khitanan, tujuh bulan
kehamilan, perkawinan, atau tolak bala.
d. Cepung (Lombok)
Dinamakan
‘Cepung’ mungkin karena diiringi suara ‘gamelan mulut’ yang iramanya berbunyi
“cek-cek-cek-cek-pung”. Cepung pada dasarnya adalah seni membaca kitab lontar,
khususnya cerita Monyeh, yang diiringi instrumen seruling, redeb, dan ‘gamelan
mulut’ (vokal). Lontar Monyeh ditulis oleh Jero Mahram pada tahun 1859, berisi
filsafat Islam dengan tujuan pengembangan agama. Pemainnya paling sedikit enam
orang, terdiri atas seorang pembaca lontar, seorang pemain redeb, seorang
pemain seruling, dan tiga orang penembang.
Mereka
duduk dalam bentuk setengah lingkaran. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sasak
dan terjadi kontak aktif
selama
pertunjukan dengan penonton. Pertunjukan ini juga memakai sesajian.
e. Sinrilli (Sulawesi
Selatan)
Sinrilli
merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pansirilli (pencerita) diiringi
instrumen musik keso-keso (rebab). Penceritaannya dalam bentuk nada lagu
(kelong) diiringi lengkingan keso-keso yang membangunkan suasana haru, indah,
dan humor. Konon Sinrilli bermula dari istana raja-raja Gowa, tetapi setelah
kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda, bentuk kesenian ini menyebar di kalangan
rakyat.
Ada
tiga golongan cerita dalam sinrilli, yaitu: kepahlawanan (Sinrilli I Datuk
Museng, Sinrilli Tolo Daeng Magansing, Sinrilli Kappala Talung Batua),
keagamaan (tentang perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan, misalnya,
cerita Tuanta Salamaka), dan percintaan (Sinrilli I Jamila, Sinrilli I Manakku,
Sinrilli I Made Daeng ri Makka).