Hampir
setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk seni teater tradisionalnya. Kesenian
merupakan ekspresi seseorang untuk berhubungan dengan orang lain. Dalam
kesenian masyarakat sederhana di masa lampau, sebuah tarian atau perilaku
teatrikal sering dilakukan tanpa kehadiran penonton. Namun hal itu dilakukan
sebagai cara komunikasi suku atau kumpulan masyarakat terhadap arwah-arwah
nenek moyang.
Prosesi
perilaku teatrikal tersebut dilakukan untuk menghadirkan roh-roh nenek moyang
yang menurut suku atau kumpulan masyarakat tersebut dapat membantu
menyelesaikan masalah-masalahnya. Atau bisa jadi sebagai ucapan syukur atas
berkah kesehatan dan keselamatan yang dialami oleh suku atau kumpulan
masyarakat tersebut.
Proses
kemunculan perilaku teatrikal tersebut menyebar ke seluruh lingkungan kelompok
suku-suku di Indonesia yang jumlahnya mencapai 350. Dari sekian banyak kelompok
suku tersebut dapat dikelompokkan lagi menjadi 18 wilayah hukum adatnya, yakni:
Aceh, Batak, Minangkabau, Jambi, Malayu, Daya Raya, Bangka Belitung, Sunda, Jawa,
Bali, Bugis-Makasar, Toraja, Gorontalo, Minahasa, Flores, Ternate-Halmahera,
Ambon, dan Papua.
Pada
dasarnya seni teater di Indonesia mula-mula berisi ekspresi komunikasi
masyarakat mesolitik yang berburu dan neolitik yang agraris. Masyarakat
mesolitik yang menggunakan proses berburu sebagai mata pencaharian untuk
mewujudkan bentuk-bentuk teatrikal, seperti: berburu binatang atau ikan,
mencari ubi-ubian, serta perebutan kekuasaan.
Oleh
karena itu, ujud dari prosesi teatrikal mereka juga tidak jauh-jauh dari cara
hidup mereka tersebut. Seperti di Papua misalnya, bentuk-bentuk teatrikal
mereka menunjukkan simbol-simbol tingkah laku binatang, binatang air, dan juga
gerak alam.
Sedangkan
masyarakat neolitik yang agraris mengaktualisasikan bentuk-bentuk teatrikalnya
dengan proses laku hidupnya dengan kehidupan sehari-hari, seperti: berkebun,
selamatan kelahiran, selamatan orang yang meninggal. Masyarakat neolitik dan
mesolitik percaya bahwa roh nenek moyang dan kekuatan-kekuatan gaib lainnya,
seperti: pohon besar, batu besar, dan
senjata-senjata, bisa dimintai pertolongan untuk melepaskan kesulitan-kesulitan
hidupnya. Maka, harapan-harapan akan bantuan dari hal-hal gaib ini juga
tercurah dalam bentuk-bentuk prosesi teatrikal untuk acara tolak bala, mengusir
penyakit, mengusir roh jahat, meminta perlindungan desa dari roh-roh maupun
dewa-dewa yang dianggap bisa menolong.
Jacob
Sumarjo dalam bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia
membagi proses kemunculan teater tradisi berdasarkan tiga kriteria, yaitu:
teater dengan religi asli, teater dengan religi Hindu dan Budha, dan teater
dengan religi Islam.
Banyak
dari kelompok masyarakat adat yang mengalami perubahan kebudayaan, tetapi ada
juga yang tetap berpegang pada adat yang dibawa nenek moyang. Sehingga relatif
masih murni belum tersentuh budaya asing selama sejarahnya sampai permulaan
abad 20, tetapi ada juga yang mengalami perubahan karena masuknya kebudayaan
asing.
Wilayah
yang mengalami persentuhan dengan kebudayaan Hindu-Buddha dapat dilihat di
Bali-Lombok (Barat). Sedang yang mengalami persentuhan dengan kebudayaan
Hindu-Buddha dan Islam adalah Melayu, Minangkabau, Jambi, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Sunda, dan Jawa. Sedangkan wilayah budaya yang langsung
mendapat pengaruh Islam agak dominan adalah Aceh, Bugis-Makasar,
Halmahera-Ternate, dan Maluku.
Tentu
saja ini hanya merupakan garis besar yang dilihat berdasarkan sejarah masuknya
budaya asing ke Indonesia dengan kepentingan melihat kemungkinan berkembangnya
teater rakyat berdasarkan masuknya pengaruh asing tadi.
Fungsi
pokok yang paling dominan dari perilaku teater tradisional pada masyarakat adalah
sebagai berikut:
1. Peringatan
atau penghormatan kepada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun
kepahlawanannya.
2.
Memanggil
kekuatan gaib roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya
pertunjukan.
3.
Pemanggil
roh-roh yang dianggap nenek moyang yang baik untuk mengusir roh-roh jahat.
4.
Pelengkap
upacara yang diselenggarakan pada saat tertentu dalam siklus waktu.
5.
Pelengkap
upacara sehubungan dengan peringatan tingkatan hidup seseorang.