Teater
tradisional merupakan hasil kreativitas dan kebersamaan suatu kelompok sosial
yang berakar dari budaya setempat. Misalnya: dongeng, pantun, tari, musik, dan
syair. Teater tradisional tanpa menggunakan naskah dan bersifat improvisasi.
Sifatnya supel, artinya dipentaskan di sembarang tampat. Jenis ini masih hidup
dan berkembang di daerah- daerah di seluruh Indonesia. Sifat teater
tradisional, yaitu improvisasinya sederhana, spontan, dan menyatu dengan
kehidupan rakyat. Pada bab 1 kamu sudah mempelajari teater tutur, sekarang akan
ditampilkan seni teater tradisi dari
beberapa
daerah di Indonesia. Contoh-contoh teater tradisional tersebut meliputi sebagai
berikut.
1. Teater Tradisi dari Jawa Barat
Sukabumi adalah salah
satu kebupaten yang ada di Jawa Barat. Di sana ada teater khas yang bernama
“Gekbreng”. Kesenian yang berupa drama tari ini bersifat humor yang
menceritakan tentang kehidupan masyarakat sehari-hari. Nama Gekbreng itu
sendiri merupakan gabungan dari dua kata, yaitu “gek” dan “breng” yang artinya
“duduk seketika”. Dengan demikian, Gekbreng dapat diartikan ketika seseorang
duduk, saat itu pula riuh rendah bunyi
gamelan memulai aksi pertunjukan. Kesenian Gekbreng diciptakan oleh Abah Ba’i
pada tahun 1918, setelah tamat berguru pada seorang seniman longser yang
bernama Abah Emod alias Abah Soang di Kampung Situ Gentang Ranji, Sukabumi. Konon,
kesenian ini timbul dari reaksi masyarakat atas ketidakadilan yang dilakukan
oleh para penguasa waktu itu.
Dengan
kreatifitasnya, Abah Ba’i menangkap keluhan-keluhan masyarakat terhadap
penguasa itu dan meramunya menjadi suatu bentuk drama tari yang bersifat humor yang
kemudian disebut Gekbreng. Jadi, dahulu Gekbreng adalah suatu kesenian yang
bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang
disampaikan dengan gaya humor agar jangan terlalu sewenang-wenang dalam
menggunakan kekuasaannya. Peralatan musik yang digunakan untuk mengiring
pertunjukan Gekbreng adalah seperangkat gamelan berlaras selendro yang terdiri atas:
(1) kendang; (2) terompet; (3) ketuk tilu; (4) rebab; (5) rincik; dan (6) gong.
Pertunjukan Gekbreng
biasanya diadakan di tempat terbuka atau tempat yang agak luas, seperti pendapa
atau halaman rumah. Para penontonnya duduk berkeliling membentuk huruf U atau
tapal kuda. Demikian pula dekorasi panggungnya, terkesan cukup seadanya dan
bahkan bersifat abstrak imajiner. Pertunjukan teater rakyat ini dapat dilakukan
pada siang maupun malam hari. Pada malam hari, sebagai pencahayaan dipergunakan
obor tradisional bersumbu tiga yang disebut oncor.
2. Teater Tradisi
dari Betawi
a.
Lenong
merupakan seni teater tradisional Betawi yang sampai kini masih ada. Lenong
Betawi biasa mengambil cerita kisah seribu satu malam, jagoan-jagoan betawi (Si
Pitung; Si Jampang; dan lain-lain), dongeng rakyat, dan sebagainya. Musik
pengiringnya menggunakan gambang kromong yaitu alat musik khas Betawi.
b.
Topeng
Betawi dalam bahasa Betawi berarti pertunjukan. Teater rakyat ini dimainkan di
tengah kerumunan berbaur dengan penonton. Pertunjukan diawali dengan
bunyi-bunyian orkes untuk menarik penonton. Lalu dibuka dengan topeng kedok
yang dimainkan oleh satu atau dua orang wanita. Pertunjukan dilanjutkan dengan
kembang topeng betawi dan bodor (lawak) yang dimainkan oleh primadona lawak.
Inti pertunjukan baru dimainkan pada tengah malam, berupa cerita kepahlawanan
tokoh betawi dan lain-lain.
3. Teater Tradisi
dari Jawa Tengah dan Yogyakarta
a. Ketoprak
Teater
yang amat populer di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini cukup tua usianya, yaitu
muncul sejak tahun 1887. Mula-mula hanya merupakan permainan lesung orang-orang
desa di bawah bulan purnama, kemudian ditambah tembang dan nyanyian. Jadi,
bukan tontonan. Baru pada tahun 1909, setelah dimodifikasi dengan tambahan
alat-alat musik, seperti kendang, terbang, seruling, dan kecrek, pertunjukan
ini dipertontonkan. Pada tahun 1920-an berkembanglah kelompok-kelompok ketoprak
yang mempertontonkan ketoprak dalam bentuk seperti yang kita kenal sekarang.
Pertunjukannya pun tidak lagi diselenggarakan di halaman rumah atau pendapa, melainkan
beralih ke panggung prosenium. Cerita yang dipentaskan beragam dan sejak tahun 1930-an
sudah mengambil sumbersumber cerita yang lebih modern.
b. Wayang Wong
Teater
Wayang Wong (Wayang Orang) semula muncul di Istana Yogyakarta pada pertengahan
abad 18, namun akhirnya keluar istana dan menjadi kegemaran rakyat.
Pertunjukannya diselenggarakan di pasarpasar malam, taman hiburan, dan di
pentas prosenium. Penataan panggung realistik dengan set ruangan keraton,
gerbang keraton, jalan desa, dan lain-lain. Cerita yang dipentaskan umumnya
Mahabharata dan Ramayana yang dipelajari dari guru-guru tari keraton. Pemainnya
harus pandai menari dan menembang serta memahami tarian untuk karakter tertentu,
selain juga mampu melakukan brontowecono (berdialog) dalam karakter yang
dibawakannya.
4. Teater Tradisi
dari Bali
Calonarang
Teater ini muncul pada tahun 1825 di Klungkung dalam lingkup istana, namun
diyakini telah hidup sebelumnya. Fungsinya adalah mengiringi upacara keagamaan
dan tolak bala. Sumber ceritanya adalah kitab Calonarang yang terdiri atas
empat cerita, yakti Katundung Ratna Mangali (pengusiran Ratna Mangali),
Perkawinan Mpu Bahula, Ngeseng Waringin (pembakaran pohon beringin), dan Kautus
Rarung (utusan Rarung ke istana dan perkawinan Ratna Mangali-Raja Airlangga).
Tata tari, iringan gamelan, dan busana dalam teater ini banyak mengambil dari
tari gambuh. Dialog atau antawacana para pemain diucapkan dalam bahasa Kawi dan
Bali. Tokoh tetapnya ada sepuluh, ditambah tokoh hantu-hantu kecil bertopeng yang
ditujukan sebagai lelucon.
5. Ragam Teater
Melayu
a. Teater Dulmuluk
dari Sumatera Selatan
Berbagai
versi mengenai asal muasal Dulmuluk. Ada beberapa versi tentang sejarah teater
tradisional yang berkembang di Sumatera Selatan itu. Satu versi yang sering
disebut-sebut, teater ini bermula dari syair Raja Bab 3 - Mengidentifikasi
Jenis Karya Seni Teater Daerah 25 Ali Haji, sastrawan yang pernah bermukim di
Riau dan terkenal dengan Gurindam 12. Salah satu syair Raja Ali Haji
diterbitkan dalam buku Kejayaan Kerajaan Melayu. Karya yang mengisahkan Raja
Abdul Muluk itu terkenal dan menyebar di berbagai daerah Melayu, termasuk
Palembang.
Versi
lain menyebutkan, seorang pedagang keturunan Arab, Wan Bakar, membacakan syair
tentang Abdul Muluk di sekitar rumahnya di Tangga Takat, 16 Ulu. Acara tersebut
menarik minat dan perhatian masyarakat sehingga mereka datang berkerumun. Agar
lebih menarik, pembacaan syair kemudian disertai dengan peragaan oleh beberapa orang,
ditambah iringan musik.
Pertunjukan
itu mulai dikenal sebagai Dulmuluk pada awal abad ke-20. Pada masa penjajahan
Jepang sejak tahun 1942, seni rakyat itu berkembang menjadi teater tradisi yang
dipentaskan di atas panggung. Kelompok teater kemudian bermunculan dan Dulmuluk
tumbuh dan digemari masyarakat. Pertunjukan Dulmuluk menjadi menarik karena menampilkan
unsur-unsur teater yang lengkap. Ada cerita, syair, lagulagu Melayu, dan
lawakan. Lawakan pada pertunjukan Dulmuluk sering mengangkat dan menertawakan ironi
kehidupan sehari-hari masyarakat saat itu. Pertunjukan Dulmuluk selalu dibawakan secara
spontan dan menghibur, bahkan penonton juga bisa merespons percakapan di atas panggung.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Palembang.
b. Teater Mendu dari
Kepulauan Riau
Mendu
adalah sebuah kesenian yang menyebar ke berbagai tempat di daerah yang disebut
sebagai Pulau Tujuh, yakni: Bunguran Timur (Ranai dan Sepempang), Siantan
(Terempa dan Langi), dan Midai di Natuna Provinsi Kepulauan Riau.
Mendu
adalah seni pertunjukan yang unik. Keunikannya adalah cerita yang dimainkan
tanpa naskah, sehingga para pemain harus hafal benar alur ceritanya di luar
kepala. Dialog-dialognya disampaikan dengan tarian dan nyanyian yang diiringi
dengan musik yang khas, gabungan dari bunyi gong, gendang, beduk, biola, dan
kaleng.
Sementara
itu, lagu-lagu yang dinyanyikan adalah: Air Mawar, Jalan Kunon, Ilang Wayat,
Perang, Beremas, Ayuhai, Tale Satu, Pucok Labu, Sengkawang, Nasib, Numu Satu
Serawak, Setanggi, Burung Putih, Wakang Pecah, Mas Merah, Indar Tarik Lembu,
Numu Satu, Lemak Lamun, Lakau, dan Catuk. Sedangkan tarian-tariannya adalah:
Air Mawar, Lemak Lamun, Lakau, Ladun, Jalan Runon, dan Baremas.
Cerita
yang dimainkan adalah Hikayat Dewa Mendu yang diangkat dari cerita rakyat
masyarakat Bunguran-Natuna. Cerita itu terbagi dalam tujuh episode. Ketujuh episode
tersebut sebagai berikut:
1.
Episode
pertama, menceritakan kehidupan di kayangan dan turunnya Dewa Mendu dan Angkara
Dewa ke dunia yang fana.
2.
Episode
kedua, menceritakan berpisahnya Dewa Mendu dengan Siti Mahdewi akibat perbuatan
jin jahat yang diutus oleh Maharaja Laksemalik.
3.
Episode
ketiga, menceritakan perjalanan Siti Mahdewi, kelahiran anaknya yang kemudian
diberi nama Kilan Cahaya, dan perjumpaannya dengan Nenek Kabayan.
4.
Episode
keempat, mengisahkan tentang perjalanan Dewa Mendu yang kemudian sampai di
sebuah kerajaan yang rajanya bernama Bahailani.
5.
Episode
kelima, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya
bernama Majusi.
6.
Episode
keenam, menceritakan perjalanan Dewa Mendu ke sebuah kerajaan yang rajanya
bernama Firmansyah.
7.
Episode
ketujuh, mengisahkan bagaimana Dewa Mendu bertemu dengan Kilan Cahaya yang
diawali dengan perkelahian antarkeduanya.
Cerita
Dewa Mendu ini dapat dimainkan dalam beberapa versi, namun inti ceritanya tetap
sama. Tokoh-tokoh dalam seni pertunjukan Mendu, di samping Dewa Mendu adalah: Angkara Dewa, Siti Mahdewi,
Maharaja Laksemalik, Kilan Cahaya, Nenek Kebayan, Raja Bahailani, Raja Majusi,
Raja Firmansyah, Raja Beruk, dan tokoh-tokoh pendukung lainnya yang jenaka
seperti Tuk Mugok dan Selamat Salabe. Kedua tokoh ini seperti tokoh Punakawan
dalam pewayangan yaitu sebagai humoris dalam cerita Mendu. Oleh karena itu,
mereka menjadi bagian yang penting dan sangat disenangi oleh penonton.
Bahasa
yang dipergunakan dalam berdialog adalah bahasa Mendu dan bahasa Melayu sehari-hari
masyarakat pendukungnya. Bahasa Mendu digunakan oleh para tokoh utama,
sedangkan bahasa Melayu sehari-hari digunakan oleh tokoh-tokoh lainnya,
seperti: jin, dayang, dan peran pembantu lainnya.
c. Teater Mamanda
dari Kalimantan
Seni
teater tradisional masyarakat Kutai disebut Mamanda. Istilah Mamanda diduga
berasal dari istilah pamanda atau paman. Kata tersebut dalam suatu lakon
merupakan panggilan raja yang ditujukan kepada menteri, wajir atau
mangkubuminya dengan sebutan pamanda menteri, pamanda wajir, dan pamanda
mangkubumi.
Seni
teater tradisional Mamanda merupakan salah satu seni pertunjukan yang populer
di Kutai di masa lalu. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap perayaan
hari nasional, pada acara perkawinan, khitanan, dan sebagainya. Mamanda
merupakan salah satu jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Ada dua pakem
cerita yang digunakan dalam Mamanda yaitu jalan cerita yang disajikan dalam
Mamanda adalah tentang sebuah kerajaan, maka pertunjukan Mamanda tersebut mirip
dengan Kethoprak.
Namun,
jika yang dipertunjukan adalah cerita rakyat biasa, maka pertunjukan Mamanda
tersebut mirip dengan Ludruk. Dalam pertunjukannya, Mamanda selalu menggunakan
dua jenis alat alat musik yakni gendang dan biola. Kesenian Mamanda sudah
jarang dipentaskan secara terbuka. Namun pada Festival Erau di kota Tenggarong,
kesenian Mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu
mata acara hiburan rakyat.