Plot
adalah alur atau jalan cerita. Drama memiliki alur seperti halnya prosa. Plot drama
ada yang lurus dan ada yang zik-zak. Hal ini tergantung kemampuan penulis naskah
menata alur, hingga menciptakan suasana drama yang mengalir. Drama yang bagus
dibangun atas plot yang tidak membosankan.
Plot
menjadi kunci sukes drama. Penataan plot akan menahan emosi penonton, hingga
betah duduk menyaksikan pentas. Sumarjo (1985) memberikan strategi penjelasan
plot. Bagi dia plot itu dapat dipahami melalui kisah.
Cara
sederhana untuk menjelaskan pengertian plot adalah dengan mengambil dua contoh
berikut:
(1)
Ayahnya
meninggal dan keesokan harinya ibunya meninggal pula, dan
(2)
Ayahnya
meninggal dan keesokan harinya, karena sedih, ibunya meninggal pula.
Contoh
ke-1 bukan plot; contoh ke-2 adalah plot, karena peristiwa pertama (ayahnya
meninggal) menyebabkan peristiwa kedua (ibunya meninggal). Melalui contoh ini,
saya bayangkan bahwa plot itu bercirikan sebab akibat. Penyebab suatu kejadian
dalam drama yang menuntun plot terus berjalan.
Brahim
(1968:63) menyatakan, unsur pokok drama adalah plot dan karakterisasi. Saya pun
tidak menolak hal ini, sebab dengan plot drama menjadi hidup. Plot itu yang akan
membangun lakon. Bahkan Aristoteles berpendapat, plot itu jiwanya drama. Gagasna
ini juga tidak salah, sebab plot pula yang akan menyedot perhatian penonton, hingga
tahan berjam-jam menyaksikan drama. Plot ada kalanya juga disebut lakon. Liku-liku
drama adalah lakon. Lakon yang akan menjadi perekat kisah sampai lama.
Plot
menurut Hudson, terbentuk oleh ”events and action”, kejadian-kejadian dan laku.
Insiden itu muncul atas gerakan, adanya tindakan yang sering dinamakan akting. Akting
juga disebut laku. Laku secara fisik, muncul dalam gerak di pentas. Namun drama
juga perlu laku batin, penjiwaan. Gejolak batin, adalah laku yang akan mewarnai
drama. Laku itu sebuah dramatik.
Tampaknya,
Brahim sedikit menyamakan antara drama dengan prosa yang lain, seperti novel.
Terbukti, dengan menyetujui Hudson, dia berpendapat bahwa plot drama (dramatic-line) terdiri dari:
(a)
insiden
permulaan, konflik dimulai,
(b)
penanjakan
(rising action), mulai penanjakan,
komplikasi,
(c)
klimaks,
mulai menanjak, terjadi krisis, lalu menuju ke turning-point (titik balik,
(d)
the falling action, artinya penurunan, dan
(e)
catastrophe, artinya keputusan.
Memang
prosa fiksi dan drama tidak jauh berbeda, sehingga plot yang dibangun mengikuti
irama yang mirip. Hanya saja, drama sering kali dibuat tidak selalu urut,
melainkan dengan cara sorot balik.
Seorang
dramawan menyusun plot untuk mencapai beberapa tujuan. Yang terpenting di
antaranya ialah untuk mengungkapkan buah pikirannya. Agar jelas, berikut akan
disajikan sebuah plot lain, yaitu: Dua orang pencuri tiba di sebuah hutan
sehabis berhasil mencuri harta dari sebuah rumah di suatu kampung. Mereka
memutuskan untuk beristirahat dan bermalam serta bersembunyi di dalam hutan
itu.
Pencuri
pertama berkata dalam hatinya, bahwa kalau ia membunuh kawannya maka seluruh
hasil curian akan menjadi miliknya. Ia membuat rencana untuk meracun pencuri
kedua. Ia berkata kepada pencuri kedua bahwa mereka akan memasak makanan dan
meminta kepada kawannya itu untuk mencari kayu bakar selagi ia sendiri
menyiapkan bahan makanan.
Pencuri
kedua masuk hutan mencari dahan-dahan dan ranting-ranting kering sementara
pencuri pertama meramu bahan makanan dengan racun. Selagi mengumpulkan dahan
dan ranting-ranting kering itu, pencuri kedua berkata kepada dirinya bahwa
kalau ia membunuh pencuri pertama maka semua harta curian akan jatuh ke
tangannya. Maka ia pun membuat rencana. Ia kembali kepada temannya dengan
seikat kayu bakar. Ia melihat temannya sudah siap meramu makanan bagi mereka.
Namun, begitu ia meletakkan kayu bakar, pencuri kedua langsung menyerang dan
membunuh pencuri pertama.
Setelah
itu, dengan gembira pencuri kedua memasak ramuan makanan yang sudah tersedia
dengan kayu bakar yang telab dikumpulkannya itu. Kemudian ia makan dan racun
itu pun termakanlah. Tak lama kemudian, ia pun mati.
Membaca
atau menonton cerita itu seseorang dapat mengambil beberapa kesimpulan.
Pertama, pengarang menyajikan masalah, yaitu masalah kejahatan. Kedua, pengarang
dalam cerita itu secara tidak langsung mungkin ingin menyatakan bahwa kejahatan
itu menghancurkan dirinya sendiri. Ketiga, mungkin pula pengarang ingin menyampaikan
pesan, bahwa manusia hendaknya menghindarkan perbuatan jahat.
Masalah,
pendapat, dan pesan pengarang itulah yang merupakan buah pikiran pengarang. Buah
pikiran itu pula yang melalui plot hendak diungkapkannya. Sebenarnya, buah
pikiran seseorang tidak perlu diungkapkan melalui plot. Buah pikiran di atas,
misalnya, dapat saja diungkapkan dalam bentuk khotbah, karangan ilmiah, dan
sebagainya. Justru karena melalui plot, maka pengungkapan buah pikiran itu menghasilkan
karya sastra drama. Itulah sebabnya kedudukan plot sangat penting dalam sastra
drama, karena tanpa penggunaan plot sastra drama tidak tercipta. Dapat dipahami
jika Aristoteles menyatakan bahwa plot adalah roh drama.
Di
samping faal (fungsi) utamanya untuk mengungkapkan buah pikiran, plot melaksanakan
faal lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu menangkap, membimbing, dan
mengarahkan perhatian pembaca atau penonton. Betapapun bagusnya buah pikiran yang
hendak disampaikan pengarang, kalau pembaca atau penonton tidak tertarik kepada
karya yang diciptanya, maka buah pikiran itu tidak akan dapat diterima. Tugas
menarik pembaca atau penonton itu diemban plot dengan mempergunakan
unsur-unsurnya.
Unsur-unsur
plot sebenarnya banyak, namun yang utama sebagai berikut.
Pertama,
ketegangan (suspense) adalah
ketegangan dalam drama. Plot yang baik akan menimbulkan ketegangan pada diri
pembaca atau penonton melalui kemampuannya untuk menumbuhkan dan memelihara
rasa ingin tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai akhir. Artinya
pembaca atau penonton selalu bertanya-tanya dan mendugaduga mengenai apa yang
akan terjadi sebagai akibat peristiwa yang telah terjadi. Sebagai contoh, dalam
kisah dua pencuri tadi, pengarang yang baik akan menyusun peristiwaperistiwa demikian
rupa hingga pembaca atau pera penonton baru akan dapat menyimpulkan kesudahan
cerita pada detik-detik terakhir saja.
Kedua,
dadakan (surprise). Telah dikemukakan
bahwa dalam membaca atau menonton cerita yang baik, pembaca atau penonton akan
selalu mendugaduga mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Pengarang yang baik
akan menyusun ceritanya demikian rupa hingga dugaan-dugaan pembaca atau
penontonnya selalu keliru dan peristiwa membelok ke arah lain yang tidak
disangka-sangka dan bahkan mengagetkan.
Walaupun
begitu, pengarang yang baik akan tetap memelihara hukum sebab-akibat sebagai
tulang punggung alur ceritanya, hingga betapapun mengagetkannya suatu peristiwa,
peristiwa itu akan tetap masuk akal dan dapat diterima.
Ketiga,
ironi dramatik (dramatic irony).
Ironi dramatik dapat berbentuk pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatan
tokoh cerita yang seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Sudah
barang tentu, ironi dramatik diciptakan begitu rupa oleh pengarang agar tidak
mengganggu ketegangan dan hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya, ironi dramatik
justru untuk mendukung kedua unsur yang lain.
Sebagai
contoh, di dalam kisah dua pencuri di atas dapat saja pengarang membuat suatu
percakapan di antara kedua pencuri itu yang di antaranya berisi kata-kata
sebagai berikut, misalnya: "Kita harus mencuri lagi, ya, merampok, kalau
perlu membunuh agar kita menjadi lebih kaya daripada sekarang." Mungkin
juga di dalam percakapan mereka disebut-sebut, bahwa mereka terpaksa membunuh
pemilik harta yang memergoki dan hendak mempertahankan miliknya ketika mereka
mencuri itu. Singkatnya, ironi dramatik akan menyebabkan pembaca dan penonton
lebih penasaran di satu pihak, di pihak lain akan memperkuat kesan dadakan
kalau kemudian terjadi peristiwa yang ternyata berhubungan erat dengan apa yang
terjadi sebelumnya.
Tiap-tiap
ahli drama sering memunculkan aneka ragam penataan plot drama. Setiap ahli
sering memunculkan ragam plot yang khas. Namun demikian seringkali satu sama lain
tidak jauh berbeda. Dalam kaitan ini, Aristoteles (Sumarjo, 1985)
mengetengahkan struktur plot drama yang kompleks. Di samping memelihara
kesinambungan hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita; di samping
mempergunakan unsur-unsur plot, untuk lebih dapat mengungkapkan buah pikiran
dan lebih melibatkan pikiran dan perasaan pembaca atau penonton di dalam
ceritanya, pengarang juga mempergunakan struktur dramatik. Di dalam
cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur
dramatik Aristoteles. Disebut demikian, karena struktur dramatik ini
disimpulkan Aristoteles (384-322 s.M.) dari karya-karya Sophocles (495406 s.M).
Struktur
adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian, yang kalau satu di antara bagiannya
diubah atau dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu.
Struktur
dramatik Aristoteles terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lain saling
tunjangmenunjang dan oleh karena itu tidak dapat dipisah-pisahkan tanpa merusak
struktur itu secara keseluruhan. Adapun bagian-bagian itu ialah eksposisi,
komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.
Eksposisi
adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Sesuai dengan
kedudukannya, eksposisi berfaal sebagai pembuka yang memberikan penjelasan atau
keterangan mengenai berbagai hal yang diperlukan untuk dapat memahami
peristiwa-peristiwa berikutnya dalam cerita. Keterangan-keterangan itu dapat mengenai
tokohtokoh cerita, masalah yang timbul, tempat dan waktu ketika cerita terjadi,
dan sebagainya.
Di
dalam kisah dua pencuri yang diuraikan terdahulu, bagian eksposisi akan menggambarkan
hal-hal berikut: bahwa kedua orang itu adalah pencuri, bahwa mereka baru saja
berhasil mencuri harta, dan bahwa mereka rakus dan licik. Penggambaran itu dilaksanakan
baik melalui percakapan, tingkah laku, dan bahkan rupa dan cara mereka berpakaian
yang mungkin tertera dalam petunjuk pengarang.
Bagian
komplikasi atau penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan
daripadanya. Di dalam bagian ini, salah seorang tokoh cerita mulai mengambil
prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, hasil dari prakarsa itu tidak
pasti. Dengan demikian timbullah kegawatan. Sebagai contoh, seorang di antara pencuri
itu berniat merebut bagian harta curian kawannya. la berniat meracun kawannya itu.
Akan tetapi, prakarsanya itu belum tentu berhasil karena beberapa hal yang diketahui,
baik oleh tokoh cerita itu maupun oleh pembaca atau penonton. Yaitu bahwa pencuri
yang kedua sama rakusnya dan sama cerdik dan kejamnya. Kegawatan ini semakin
meningkat kalau pengarang menggambarkan bahwa pencuri yang kedua mempunyai
prakarsa yang sama dan ia pun ragu-ragu, apakah kawannya tetap menunggu dan
memasakkan makanan baginya atau telah melarikan harta selagi ia mencari kayu bakar,
dan sebagainya.
Komplikasi
disusul klimaks, bagian selanjutnya dari struktur dramatik Aristoteles. Dalam
bagian ini pihak-pihak yang berawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan
perhitungan terakhir yang menentukan. Di dalam bentrokan itu nasib para tokoh
cerita ditentukan. Kalau berpaling pada cerita kedua pencuri tadi, klimaks
terjadi ketika pencuri yang berniat meracun memasukkan racun ke dalam ramuan
masakan tepat pada saat sebelum pencuri yang lain datang dan kemudian langsung
menyerang dan membunuhnya. Klimaks meliputi juga bagian ketika pencuri yang
telah berhasil membunuh kawannya itu meminum air beracun yang telah disediakan
oleh si terbunuh.
Resolusi
menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh prakarsa
tokoh. Resolusi juga disebut pemecahan problem. Resolusi akan terjadi peleraian
masalah. Dari sini drama sudah dapat diketahui endingnya, kemana, dan apa yang
hendak disampaikan dalam permainan drama. Resolusi sebaiknya tidak menimbulkan
banyak pertanyaan yang janggal. Oleh karena itu logika perlu selalu ditimbulkan
dalam pemecahan masalah.
Resolusi
drama kadang-kadang ada yang janggal. Ada pula resolusi yang tidak sesuai dengan
harapan penonton. Hal demikian dapat terjadi karena penonton sering memiliki imajinasi
tersendiri. Dalam drama ada sekat-sekat dan ruang ”khas” yang memungkinkan penonton
masuk. Entah spontan atau dengan pemikiran penonton sering hanyut ke dalam drama.
Akibatnya mereka ada yang menginginkan resolusi tertentu.
Dari
struktur itu masih bisa dikembangkan lagi. Misalnya, di tengah komplikasi (konflik)
biasanya ada krisis. Krisis adalah suasana penting. Drama yang happy ending, biasanya
lebih mudah dicerna plotnya. Ketika plot enak diapresiasi, penonton akan lega. Penonton
akan tepuk tangan meriah. Sebaliknya, bila plot masih open ending, hingga sulit
apakah drama itu dapat dikatakan tamat atau belum, sering membuyarkan perhatian
penonton.
Drama
yang bagus akan memberikan keputusan yang jelas. Konflik sebaiknya ada keputusan
yang dapat diperik. Apabila 75% penonton tidak bisa mengikuti kisahnya, tidak tau
endingnya, bearti drama itu gagal. Apalagi kalau keputusan konflik menjadi
kabur. Apa pun wujudnya, konflik mesti ada keputusan, sokur nalarnya jelas.
Kalau satu dua orang penonton maish tanda tanya, wajar.