Drama
adalah karya sastra dialogis. Karya ini tidak turun begitu saja dari langit. Drama
hadir atas dasar imajinasi terhadap hidup kita. Keserakahan sering menjadi momentum
penting dalam drama. Inti drama, tidak lepas dari sebuah tafsir kehidupan. Bahkan
apabila dinyatakan, drama sebagai tiruan (mimetik) terhadap kehidupan juga tidak
keliru. Detail atau tidak, dia berusaha memotret kehidupan secara imajinatif.
Oleh
karena itu, memang cocok drama itu diajarkan, sebab di dalamnya ada tindakan
yang dapat dicontoh oleh anak didik. Drama yang penuh dengan tindakan, memungkinkan
seorang pelaku berdialog, bertindak apa saja, tawar-menawar nilai, dan mempertontonkan
kebolehannya. Hampir seluruh drama sebagai “CCTV” kehidupan. Bahkan, suatu saat
drama menjadi sebuah “kotak hitam” hidup itu sendiri. Kehidupan politik,
biasanya yang paling cepat menyentuh para dramawan. Kebijakan pemerintah yang
kontroversial, seringkali yang banyak menyedot perhatian dramawan. Setiap pengarang
drama, tidak sama dalam melihat dan menginterpretasikan sisi kehidupan.
Ada
pengarang yang memfokuskan pada segi keadilan, korupsi, ketidakmapanan, segi cinta
kasih, kebobrokan sosial, segi moral, seal didaktis, segi kepincangan dalam masyarakat,
segi suka atau duka, dan sebagainya. Aspek-aspek ini dapat saya bedakan menjadi
dua, yaitu: (a) potret kehidupan yang tenang, datar, tanpa gejolak, (b) potret kehidupan
yang tidak mapan, penuh tantangan, banyak riak, dan seringkali menyedihkan, memprihatinkan.
Tontonan atau naskah yang dihasilkan akan ditentukan oleh bagaimana sikap
penulis dalam menginterpretasikan kehidupan ini.
Istilah
potret, tentu tidak berarti bahwa drama itu latah. Drama sering memotret kehidupan
secara imajinatif. Dalam konteks itu, kecerdasan penulis naskah ditantang. Kecerdasan
yang dibalut dengan olah rasa, akan memberi aroma drama. Kalau anda menonton
sandiwara dagelan seperti Srimulat, guyon Maton Ngabdul di RRI, ketoprak Kitun,
akan menginterpretasikan kehidupan sebagai ajang humor, ajang pergaulan yang menyenangkan.
Yang hadir di hadapan kita adalah tontonan yang penuh gelak tawa, seperti
halnya drama monolog Butet Kertarajasa pun, contoh drama yang berkembang di
tengah-tengha kita. Kalau mau mengakui, tayangan “Negeri BBM” di televisi pun sebuah
drama politik.
Yang
terakhir itu, sering mewujudkan drama kelas tinggi yang disebut parodi. Sekalipun
yang dilakonkan adalah kisah duka, kisah kotor, kejahatan politik, kekerasan rumah
tangga, ketidakadilan, tetapi dagelan dapat menampilkan humor dalam kedukaan itu.
Jika akhir-akhir ini banyak drama di TV One, tentang kebobrokan lembaga pemasyarakatan,
yang ada judi di dalamnya, Artalita Suryani dkk. Di Pondok Bambu mendapat
fasilitas bintang 5, berarti drama kehidupan. Pasalnya, seorang Dirjen Hukum
pun ingin menutupi, sebelum dibantah oleh anggota DPR komisi III, Panda Nababan.
Intinya, pemerintah telah mendramatisir dunia kehidupan penjahat menjadi seakan-akan
hidup enak di dalamnya.
Di
tengah tokoh yang menangis, penonton dapat tergelak-gelak tertawa. Ketika diwawancarai
wartawan, para penghuni lapas kelas elit itu sempat ada yang menangis. Kalau
hal ini ditangkap penulis drama, tentu akan menjadi embrio imajinatif yang
unik.
Maksudnya,
pengarang yang menginterpretasikan kehidupan sebagai tempat yang menyedihkan,
akan menghasilkan drama-drama tragedi politik yang parodik. Drama-drama Yunani
Kuno banyak yang menampilkan tragedi kehidupan karena pengarangnya menganggap
kehidupan ini merupakan kedukaan. Manusia dipandang sebagai aktor-aktor tidak
berdaya di bawah sutradara besar, yaitu Tuhan. Ketidakberdayaan manusia melawan
nasib hidup mengakibatkan manusia menjalani tragedi demi tragedi.
Pendek
kata, keterkaitan antara drama dengan kehidupan tidak bisa diragukan. Di segmen
mana pun, drama dapat membidik sebagai kekuatan tampil yang memukau. Semakin
dekat dengan kehidupan, drama itu menjadi menarik. Dalam teater tradisional yang
diilhami sastra lama, ketoprak, misalnya, kehidupan yang berarti adalah kehidupan
kraton. Potret kehidupan yang dipaparkan adalah yang berhubungan dengan istana,
dengan kehidupan pangeran dan putri. Perebutan tahta, wanita, harta sering menjadi
fokur.
Zaman
ini dapat juga dikaitkan dengan zaman Romantik. Kehidupan serba indah di
kerajaan dikaitkan pula dengan dewa dan bidadari untuk mewujudkan gambaran manusia
idaman. Gambaran tentang kehidupan cenderung diperindah dan diperluhur. Mungkin
anda ingat kisah Jaka Tarub, Banyak Tatra, Limus Bahas, Jaka Bandung, Rara
Hoyi, Retna Dumilah, Jaka Tingkir dan sebagainya.
Sebaliknya,
drama kontemporer banyak mengetengahkan potret kehidupan manusia jelata,
manusia miskin, kisah anak jalanan, kisah tukang sampah, yang tidak mendapat
tempat dan tidak diperhatikan oleh manusia-manusia normal. Kehidupan gelandangan
mewarnai hampir semua karya Arifin C. Noer. Demikian pula penulis-penulis muda
seperti Nur Iswantara, Hamdi Salad, Suwardi Endraswara, Bambang Widaya SP, banyak
berorientasi pada kejelataan. Hal ini ditujukan untuk mengetengahkan sisi lain
dalam kenyataan hidup manusia. Untuk menunjukkan bahwa di balik yang hidup di
sekitar kita, dalam masyarakat normal yang kita jumpa setiap saat, hidup juga
manusia pinggiran yang derajat kemanusiaannya sedikitpun tidak kurang dari
derajat kita.
Ketika
saya bersama penulis drama besar N Riantiarno ke sebuah pulau kecil Bau-bau di
Sulasewi, secara tidak langsung dia juga telah ”merekam” kehidupan nelayan. Dia
juga tengah merasakan kehidupan kaum minor. Melalui perjalanan laut, yang amat
dahsyat, memerangi ombak galak, saya dengan dia tetap tegar memperhatikan rona
kehidupan. Saat itu juga bersama para pejabat menelusuri kehidupan laut. Maka,
banyak drama N. Riantiarno seperti "Opera Ikan Asin" dan "Opera
Kecoa" juga menampilkan dunia rakyat jelata ini. Termasuk di dalamnya WS Rendra,
yang banyak memperhatikan rakyat kecil.
Apapun
yang digarap oleh dramawan, sah-sah saja. Kehidupan adalah ”gurunya”. Jadi,
sebagai interpretasi terhadap kehidupan, drama mempunyai kekayaan batin yang tiada
tara. Kehidupan yang ditiru oleh penulis drama dalam lakon diberi aksentuasi aksentuasi
sesuai dengan sisi kehidupan mana yang akan ditonjolkan oleh penulis. Hal yang
ditonjolkan itu akan menentukan konflik yang dibangun. Konflik itu akan tergambar
dalam pertikaian antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dari situlah plot
dibangun dan dikembangkan. Potret kehidupan akan menjadi cermin bagi setiap penonton
untuk menyaksikan gejolak konflik batinnya sendiri.
Seniman
drama biasanya membaca cermat kehidupan di sekitarnya. Bacaan itu tafsir, yang
kemudian ditelorkan ke dalam naskah atau teks. Teks itu akan ditafsirkan lagi
oleh sutradara, agar menjadi garapan menarik. Arahan sutradara pun sering masih
ditafsirkan lagi oleh pelaku. Apa yang muncul dari pelaku, sering ditafsirkan
oleh penonton, begitu serusnya. Maka drama itu selalu multi tafsir,
menghadirkan lapis-lapis tafsir yang tidak pernah ada henti-hentinya. Drama
menjadi simbol, berupa metafor, alegori, dan personifikasi kehidupan sosial.
Bahkan drama yang absurd pun, tidak hanya fantasi, melainkan sebuah simbol
bermakna.
Sumber
: Seluk Beluk Drama : Suwardi