Perkembangan
tari Nusantara akan lebih mudah jika dikelompokkan berdasarkan periode masuknya
penyebaran agama ke Indonesia atau berdasarkan perubahan sejarah.
Jika
Anda tinggal di Medan, mungkin Anda pernah menonton pergelaran tari yang
berjudul Tari Zapin. Tari ini salah satu tarian yang mendapat pengaruh dari
bangsa Arab. Kata Zapin diambil dari kata al-zafin yang artinya gerak kaki.
Adapun
secara koreografi, perkembangan Tari Zapin tetap menampilkan motif-motif gerak
tari Melayu dan tidak menghilangkan ciri khas gerak berirama dari tari-tarian
Melayu. Dahulu Tari Zapin sering ditarikan hanya oleh seorang penari (tunggal),
tetapi sekarang kadang-kadang dibawakan oleh sepasang laki-laki atau perempuan
dengan laki-laki.
Busana
khas Tari Zapin yang unik, demikian pula jenis tari lainnya yang berasal dari
Sumatra, mendapat pengaruh dari masuknya Islam ke Sumatra, seperti yang
dikenakan oleh kebanyakan para penarinya, yaitu ‘serba tertutup’. Busana wanita
terdiri atas kebaya labuh berlengan panjang, atau
baju
kurung, dan kain songket panjang atau celana panjang.
Adapun
penari laki-laki mengenakan busana kecak musang dan baju kurung teluk belanga.
Baju ini biasa dipakai lakilaki ketika pergi ke masjid untuk shalat. Bagian
depannya terdapat belahan yang berkancing, di sampingnya dibelah kiri dan
kanan, seperti yang Anda kenal sebagai baju koko. Mereka juga memakai songkok
atau peci.
Demikian
pula jika Anda perhatikan syair lagu yang mengiringi Tari Zapin, sangat kental
dengan pepatah bersumber dari agama Islam, seperti lagu “Bismilah”, lagu “Pulut
Hitam”, lagu “Sayang Serawak”, atau lagu “Lancang Kuning”, yang bertempo rentak
(rancak, dinamis). Musiknya berirama
gambus
dengan iringan alat musik biola, gendang, gong, dan akordeon. Dalam setiap
selingan alunan lagunya diselingi paduan balas pantun.
Bagi
Anda yang tinggal di Pulau Jawa, sedikit banyak tidak akan asing mendengar
sebuah tari yang diberi nama Tari Golek. Di Yogyakarta maupun Surakarta, tari
ini kerap dikenal sebagi tari tunggal yang terinspirasi dari boneka kayu yang
dinamakan golek. Tarian ini biasanya ditarikan pada pertunjukan wayang kulit di
akhir lakonnya. Sinopsis atau gambaran dari Tari Golek menggambarkan seorang
gadis remaja yang sedang menghias diri.
Pernahkah
Anda mendengar, bahkan mungkin menonton, Tari Gambyong? Tarian ini merupakan
jenis tari rakyat yang sifatnya menghibur. Gambyong itu sendiri adalah nama
dari bagian pertunjukan tayuban, yaitu ketika penari perempuan yang disebut
ledhek/tledhek menari sendiri, Kemudian, ia berduet dengan penari laki-laki
yang mengajaknya menari bersama. Ketika penari laki-laki telah ikut serta
menari, maka tari itu disebut tayuban atau menari bersama.
Mengamati
busana Tari Gambyong, berkesan bahwa tarian ini adalah tarian rakyat jelata.
Perhatikan gambat di samping. Busana yang dikenakan berupa kain batik, angkin
atau penutup torso (bustier), bahu terbuka, selendang (sondher), dan rambut
disanggul alakadarnya. Pada masa kerajaan, di hampir seluruh wilayah di Pulau
Jawa terdapat cara berpakaian yang berbeda antara para bangsawan keraton dengan
rakyat biasa. Perbedaan tersebut jelas diwujudkan pada Tari Gambyong ini.
Selain
itu, tari tunggal di Indonesia pada saat tumbuh kembangnya memiliki perbedaan.
Tari-tarian di luar Pulau Jawa pada zaman sebelum kemerdekaan sangatlah jarang
menyuguhkan tari tunggal. Selain karena faktor sumber daya manusia atau seniman
kreator yang masih sedikit, juga karena kebutuhan masyarakatnya lebih cenderung
pada tari-tarian ritual atau upacara oleh sekelompok orang di sebuah kampung,
Kebutuhan masyarakat juga cenderung pada jenis tari pergaulan yang sifatnya
menghibur. Jelas tari pergaulan melibatkan banyak orang, bukan? Maka
tari-tarian tunggal yang tumbuh di luar Pulau Jawa sangatlah sedikit.
Meskipun
demikian, tari tunggal yang berasal dari Pulau Sumatra tidak dikhususkan untuk
disajikan oleh seorang penari. Uniknya adalah tarian tunggal dari Sumatra ini
bisa dibawakan oleh penari wanita atau laki-laki karena motif geraknya yang
memang dapat dilakukan oleh pria dan wanita. Contohnya, Tari Rantak. Tari
Rantak bisa dibawakan oleh pria dan wanita. Tari Rantak juga dapat ditarikan
secara tunggal ataupun berpasangan, disesuaikan menurut kebutuhan pentas.
Tari
Lenggang Patah Sembilan merupakan tari Melayu yang bertempo lambat. Karena
bertempo lambat, pepatah Melayu mengatakan “semut jika dipijak pun takkan mati
saking lambatnya tarian ini”.
Dalam
Tari Lenggang Patah Sembilan, seorang penari melenggang di tempat, bertumpu
pada sebelah kaki, silih berganti. Akan tetapi, sebenarnya tarian ini
bertenaga.
Tarian
ini diiringi lagu “Kuala Deli” sehingga orang boleh menyebutnya Tari Kuala
Deli. Namun, sebenarnya tarian ini merupakan tari pergaulan muda-mudi yang
tidak memandang usia, bergantung tempat tarian ini disajikan.
Mengidentifikasi
tari-tarian tunggal dari Pulau Jawa lebih mudah. Hal ini didasarkan oleh
banyaknya cerita perwayangan dan sumber cerita lainnya yang diangkat menjadi
sebuah tari yang menggambarkan tokoh-tokoh tertentu dari sumber cerita, baik
perwayangan maupun cerita rakyat lainnya.
Selain
itu, juga setelah zaman kemerdekaan, kebebasan untuk mewujudkan kreasi seni
lebih terbuka. Selanjutnya, kebutuhan akan hiburan yang lebih berkelas
mendorong para seniman tari untuk menciptakan tari-tarian tradisi dengan gaya
masing-masing.
Baju
prangwadana merupakan baju yang dipakai oleh menak (bangsawan) Sunda pada zaman
dahulu. Kain lereng dengan motif parang rusak besar menunjukkan bahwa Tari
Gawil berkarakter monggawa. Selendang berwarna merah atau kuning menunjukkan
karakter agung, dihormati sebagai seorang menak (bangsawan). Keris adalah
senjata para menak zaman dulu.
Dalam
keadaan darurat, keris merupakan senjata untuk membela diri. Dasi kupu-kupu
merupakan akulturasi dari pergaulan menak Sunda dengan para kaum feodal.
Pada
jenis tari-tarian upacara ritual ataupun kemasyarakatan, umumnya para penari
tidak memakai riasan wajah. Riasan hanya yang dipakai sehari-hari tanpa
mengesankan karakter tertentu. Tentu saja kesederhanaan rias itu merupakan
kebiasaan yang tidak memerlukan penilaian dari pihak lain
(penonton),
seperti rias Tari Tarawangsa.
Pada
beberapa tarian, rias wajah menjadi ‘harus‘ untuk menunjukkan kekhasan, dengan
menambahkan garis kumis menjadi lebih tebal, garis jambang, garis alis seperti
pada penari Reog Ponorogo, ataupun Tari Jatilan yang kadang kadang dibawakan
oleh penari perempuan (travesti).
Riasan
ini jelas menunjukkan kesan akan sebuah karakter yang gagah, disegani, kuat.
Demikian halnya dengan rias pada penari laki-laki dalam Tari Ketuk Tilu. Untuk
menunjukkan kesan seorang jawara, garis rias menjadi lebih tebal.
Bentuk
garis rias lainnya menunjukkan sebuah kesan karakter lucu, periang, yang
kadang-kadang disimbolkan pada topeng penutup muka dengan mimik yang lucu
sehingga bagaimanapun gerakannya, kesan tari komedi, jenaka tetap ditangkap
penonton sepanjang tarian.
Dari
berbagai penjelasan tadi, jelaslah bahwa ketika tari disajikan oleh seorang
penari, disebut tari tunggal. Ketika tarian telah diikuti oleh penari lain,
bisa jadi tarian itu menjadi sebuah tari kelompok.