Tarian
upacara keagamaan yang bersifat magis saat ini sudah jarang ditemukan. Namun,
di Bali masih terdapat Tari Sang Hyang Jaran yang hingga kini masih dilakukan
sebagai tari upacara untuk mengusir roh jahat.
Penari
meliuk-liukkan tubuhnya dan bergerak seperti menunggang kuda dengan menggunakan
kuda yang terbuat dari bambu. Kemudian, penari bergulingan di atas bara api,
tetapi tubuhnya tidak terbakar. Gerakan tubuhnya bergerak bebas karena dalam
keadaan tidak sadar. Gerakan ini dilakukan spontan mengikuti keinginan hati
tanpa didasarkan kaidah seni, tetapi menunjukkan gerakan ritmis yang tak
disadarinya.
Ada
lagi tarian lain yang merupakan salah satu peninggalan zaman prasejarah, yaitu
Jatilan. Tari ini merupakan tarian dari daerah Borobudur yang sangat dekat
dengan upacara ritual memanggil roh binatang totem sebagai bala keselamatan
dari roh jahat.
Ritual
ini dianggap dapat menyucikan jiwa. Kadang-kadang pemainnya melakukan adegan
yang pada kehidupan nyata sangat mustahil dilakukan. Mereka tidak terluka
ketika menginjak bara api, memakan pecahan kaca, memecahkan kelapa dengan
kepala tanpa merasa sakit atau terluka. Hal tersebut dilakukan pada saat ndadi
atau trance (Bali: kerawuhan, kesurupan, masuknya roh halus ke dalam tubuh)
sebagai perwujudan bahwa roh ‘hadir’ dan menunjukkan kekuatannya kepada
masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan karena mereka menari dengan gerakan
spontan.
Tari
Tanggai dari Sumatra Selatan, merupakan tarian untuk menyambut para tamu
disertai upacara kebesaran adat.
Jatilan
merupakan tarian dalam upacara ritual memanggil roh binatang totem sebagai bala
keselamatan dari roh jahat.
Tari
upacara yang berfungsi sebagai media sarana upacara ritual keagamaan dilakukan
masyarakat melalui serangkaian upacara adat yang bertujuan melindungi
masyarakat dari bencana, kejahatan, serta sebagai ungkapan permohonan agar
maksud dan keinginannya terkabul. Pada zaman primitif
sebelum
masuknya agama ke Indonesia, tari menjadi bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan spiritualisme masyarakat Indonesia.