Setelah
melewati fase feodalisme, kondisi sosial ekonomi di Indonesia membaik,
perkembangan seni tari tradisional mendapat tempat yang ‘membaik’ pula.
Masyarakat
tidak lagi ragu untuk berkreativitas menuangkan ide dan karya yang inovatif,
setelah selama ini dibelenggu oleh status sosial yang menganggap bahwa pribumi
(inlander) bodoh.
Sebelumnya,
tari hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan para pejabat kolonial, sebagai
sebuah hiburan yang memuaskan mereka. Pada saat bangsa terlepas dari
kolonialisme, dunia seni tari tradisional merebak bak jamur di musim semi,
setiap daerah memiliki sanggar-sanggar tari yang dipenuhi para peminat.
Berpuluh-puluh
bahkan beratus-ratus tarian di setiap daerah dipelajari, diperkenalkan, dan
masuk ke kalangan pejabat sebagai hiburan atau tari persembahan. Hal ini
menimbulkan gairah bagi para koreografer untuk semakin menambah kekayaan seni
tari Indonesia. Mereka menyelenggarakan festival-festival tari daerah, juga
kursus tari bagi semua kalangan.
Tarian
yang berkembang karena efek sosial dan psikologis, menempatkan tari menjadi
sebuah media ungkapan jiwa yang dapat memberikan profit, juga media kritik,
media refleksitas hidup masyarakat, media ungkap bagi jiwa yang memiliki
kebebasan hidup.
Hal
ini menciptakan tarian yang pada saat itu dikenal dengan sebutan tari kreasi
baru, mengembangkan tari tradisional menjadi lebih modern pada masa itu dengan
sentuhan koreografi yang tetap berakar pada tari tradisi. Misalnya, tari
tunggal/kelompok dari Bali pada Tari Kebyar Duduk; tari berpasangan dari Melayu
Sumatra, yaitu Tari Serampang Dua Belas; tari kelompok dari Aceh, yaitu Tari
Saman.